“Sebenarnya Pasar Pagi Arengka ini dimulai dari toko-toko kecil itu”, kata Eri sambil menunjuk toko-toko yang berada dibelakang lapaknya. “Ya, tempat yang saya tempati ini adalah pasar ilegal. Karena pasar sebenarnya berada dibagian belakang yang dibangun oleh pemiliknya secara pribadi baik berupa los, lapak, kios maupun toko-toko bertingkat, karena mereka-mereka itu adalah para tuan tanah di wilayah ini, tambahnya lagi.
Pagi itu sekitar pukul 9.30 wib suasana Pasar Pagi Arengka tampak ramai dikunjungi para pembeli yang kebanyakan dari kalangan ibu-ibu. Maklum, hari itu adalah hari sabtu (8/5). Semerbak bau khas pasar pun tercium ketika kita melewati lapan / los para pedagang yang terlihat sibuk melayani pembeli. Para pelanggan pun sibuk membeli kebutuhannya dari satu pedagang ke pedagang lain tanpa menghiraukan jalan setapak di pasar itu becek dan kotor akibat hujan lebat yang turun kemarin sore.
Tidak jauh dari lokasi parkiran depan pasar, dari beberapa sumber didapat keterangan bahwa kegiatan parkir tersebut juga ilegal, tampak seorang lelaki setengah baya sibuk menimbang cabe, bawang dan kentang pesanan pelanggannya dengan serius dan ramah, ciri-ciri pedagang asal sumatera barat. Lalu ia menghitung semua harga belanjaan dan memberikannya kepada pelanggannya seraya menerima bayaran dari pelanggannya. Ya, lelaki bertubuh sedang ini bernama Eri. Sudah 10 tahun ini ia berjualan di Pasar Pagi Arengka. Sebelumnya ia berjualan di Pasar Pusat. Lelaki yang beralamat tinggal di jalan Adi Sucipto tanpa KTP (tidak terdaftar sebagai penduduk Kota Pekanbaru) ini memiliki hasrat berdagang dari kecil. Maklum, kebanyakan keturunan minang memiliki jiwa dagang yang besar.
“Saya sudah lama jadi pedagang. Sejak tamat SMA-lah. Maklum, profesi keturunan. Selama ini saya menikmati profesi saya sebagai pedagang”, ungkap pria berumur 40 tahun ini sambil menghisap rokok kreteknya dalam-dalam. Selama ini, dia sudah berjualan bermacam-macam. Mulai dari ikan asin, sayur-sayuran, pakaian, dan hingga saat ini ia jualan cabe, bawang, kentang juga sayur-sayuran. Pria yang suatu saat ingin menjadi seorang pengusaha berhasil dan sukses ini, tidak sendirian, karena istri dan anak bungsunya yang berumur 2 tahun selalu menemaninya di pasar. Ia mulai berdagang dari pukul 2.30 dini hari hingga magrib. Semua barang dagangannya berasal dari luar Pekanbaru. Ada yang dari Jawa, Sumbar, Medan, bahkan Thailand. “Barang dagangannya datang setiap hari, sebelum saya berangkat ke pasar”, tambahnya lagi.
Mengenai omset penjualannya, diakui Eri tidaklah banyak. Keuntungan yang didapatkan tiap hari pun tidak tetap. Hal ini dikarenakan hasil penjualan yang didapatkan tergantung dari daya beli pembeli. Jika sudah akhir bulan, pasar terlihat sepi pembeli. Karena kebanyakan pembeli adalah PNS. Selain itu hambatan yang didapatkan yaitu ketika musim modal mahal dan sulit menjual. Apalagi jika musim banjir datang. Untuk saat ini, Eri mengeluarkan modal sebesar 2 juta rupiah setiap harinya. Dan keuntungan yang didapat hanya sekitar 7 hingga 10 persen.
Lalu, bagaimana jika harga barang naik ? Ketika ditanya mengenai hal ini, Eri menjawab kalau kebanyakan para pedagang memiliki kesulitan untuk menaikkan harganya. Mereka harus memberi pengertian kepada para pembeli. Penjualan secara eceran rada sulit. “Menaikkan harga barang tidak bisa terlalu tinggi. Kalau tinggi, bisa-bisa semua pedagang mampu naik haji”, kata Eri bercanda.
Lapak ( tempat jualan ) yang ia tempati saat ini ukurannya sama seperti pedagang lainnya. Semua para pedagang termasuk Eri harus membayar uang lapak, uang pasar, uang listrik per bola lampu dan uang keamanan sebesar Rp. 11.000 setiap harinya kepada petugas pasar. Petugas pasar ini adalah orang yang diberi tugas dan tanggungjawab oleh pemilik pasar. Karena ketika pulang, kadang sebelum matahari terbenam, kadang pula setelah matahari terbenam, para pedagang tidak membawa pulang barang dagangannya. “Alhamdulillah, sejauh ini saya belum pernah kehilangan, tetapi pedagang lain pernah mengalami”, tambah Eri sambil marapikan barang dagangannya.
“Sebenarnya Pasar Pagi Arengka ini dimulai dari toko itu”, kata Eri sambil menunjuk toko-toko yang berada dibelakang lapaknya. “Ya, tempat yang saya tempati ini adalah pasar ilegal. Karena pasar yang sesungguhnya ada dibelakang yang dibangun secara pribadi oleh pemiliknya dengan izin Pemerintah Kota Pekanbaru yang nota bene mereka-mereka itu adalah tuan tanah, baik berupa kios, los, lapak maupun toko. Jadi, kalau nanti ada pelebaran jalan, tempat ini akan digusur”, jelas Eri. Sekali lagi katanya mengaku bahwa lokasi lapak tempatnya berjualan adalah ilegal (dibangun diatas DMJ), ia dan pedagang lain tidak bisa pindah sebab tempat yang tersedia (legal) sudah penuh ditempati oleh para pedagang lain. Namun, ia berharap tempat yang ia tempati sekarang ini tetap bertahan dan tidak digusur. Karena jika ia pindah, ia akan mengalami kesulitan baik dalam memenuhi permintaan pelanggannya maupun kebutuhan hidupnya sekaligus berarti berkurang omsetnya. Ia berharap pemerintah menyediakan tempat untuknya dan para pedagang lain dengan harga sewa yang terjangkau.
Lho, bukankah pemerintah sudah melakukannya ?
Mungkinkah pemerintah belum mencukupi semua kebutuhan para pedagang ?